.quickedit { display:none; }

Sabtu, 19 Mei 2012

SERBA SERBI PENERIMAAN SISWA BARU

Gaya Sekolah Menjaring Calon Siswa





Terpampang sebuah billboard besar di perempatan jalan utama:

Pendaftaran
Telah Dibuka untuk TK, SD, SMP, dan SMA:
Pendaftaran bulan Novemberdiskon 40%
Desember diskon 35%
Januari ’10 diskon 30%
Februari ’10 diskon 25%
Maret ’10 diskon 20%
April ’10 diskon 15%
Mei ’10 diskon 10%
Juni ’10 diskon 5%
Daftarkan Segera! Tempat Terbatas !

Di Padang, sebelum gempa melanda, sebuah billboard ukuran sekitar 5 x 3 meter menyolok terpasang di depan sekolah SMP yang berada di jalan utama :
Sekolah Bertaraf Internasional. Fasilitas : Gedung milik sendiri, Kolam Renang, Bahasa Inggris, Komputer, ….. (bla bla bla …). Di sampingnya, foto kepala sekolah, seorang ibu setengah baya berkebaya, besar sekali ukuran gambarnya!

Melihat publikasi sekolah yang pertama, seorang rekan berkomentar: “Mirip iklan factory outlet ya, banyak amat diskonnya. Tiap bulan beda lagi” . Sedangkan untuk iklan sekolah ke dua,saya sendiri bergumam: “Lha, narsis bukan hanya milik anak ABG dan para caleg. Kepala Sekolah pun pengin menunjukkan mukanya di depan khalayak ramai.”

Publikasi dan publisitas, adalah sebuah keniscayaan untuk membuat komunikasi dengan masyarakat luas. Di jaman informasi ini, komunikasi bisa dilakukan dengan teknologi. Meski internet dan jaringan maya melanda semua lini kehidupan, media konvensional macam spanduk, billboard, dan poster masih marak dilakukan.
Tidak semua masyarakat pengguna sekolah mencari informasi melalui internet. Demikian alasan para pemilki sekolah yang menggelar spanduk rentang dan hanging banner, billboard atau papan iklan.

Masalahnya isi pesan yang akan disampaikan, kini makin mirip dengan iklan komersial produk dan jasa lain. Persaingan menjadi alasan juga. Bahkan memulai pendaftaran saat semester satu belum juga usai sudah seru dilakukan para marketer sekolah.
Hingga kini tak ada aturan bagaimana sekolah dikomunikasikan. Semua terserah praktisi dan selera pemilik sekolah. Sekolah negeri praktis tak melakukan promosi sekolah. Anggaran menjadi kendala, meski kadang arogansi sekolah favorit menjadi isu utama.

“Kalau di sekolah negeri, apalagi yang telah menjadi pilihan, tak berpromosi saja kami diserbu calon siswa. Sistem penerimaan yang menggunakan NEM juga menjadikan anggaran promosi di sekolah negeri tak perlu dibuatkan mata anggaran,” kata seorang kepala sekolah SMP Negeri.

Akan halnya kepala sekolah sekolah swasta yang cukup diminati di Jakarta Selatan, “Sekolah kami dikenal sebagai sekolah berbiaya tinggi. Asumsi kami, dengan memasang tawaran diskon, peminat dengan segera akan mengisi jumlah kursi yang tersedia. Sejauh ini belum ada survey, apakah mereka bergegas mendaftarkan putra-putrinya karena alasan diskon. Harus diteliti dulu,” jelasnya.

Segmentasi Menentukan
Sekolah harus mempelajari segmen siswa. Ini sebuah kerja keras terkini yang dilakukan di banyak sekolah swasta besar, di kota besar. Segmen orang tua yang mengutamakan kualitas, tak tergiur dengan diskon yang ditawarkan.

Segmen tengah paling sulit. Ke atas susah karena terbentur dana, ke bawah ogah karena terlanjur memiliki tuntutan dan selera sekolah bergengsi. Segmen tengah ini lentur dengan tawaran diskon. Sedikit perbedaan diskon saja, bisa membuat keputusan berpindah ke sekolah yang lebih royal potongan harganya.

Komunitas orang tua yang status-quo, yang memilih sekolah karena faktor kepemimpinan, akan mantap memilih sekolah dengan foto sang kepala sekolah di papan besar. Mereka beranggapan, kepemimpinan yang menonjol akan membawa kemajuan sekolah. Banyak benarnya memang. Jika suatu waktu sang pimpinan keluar, pindah kerja, dibajak sekolah lain atau mengundurkan diri karena alasan lain, maka biasanya terjadi gagap dan pengenduran peminat. Wah gawat.

Mana yang lebih efektif? Belum dilakukan survey. Kata hati pasti bertolak belakang dengan promosi publikasi dua sekolah di atas. Sekolah tetaplah menjadi lembaga yang memanusiakan manusia. Tak elok jika dikomunikasikan dengan gaya komersial diskon, ataupun dengan memamerkan fasilitas dan ketokohan. Proses pembelajaran kehidupan menjadi samar-samar.

“Sekolah kan jasa, sosial bisnis, yang masih sarat dengan nilai-nilai. Jangan diobral layaknya menjual obat”, jelas seorang principal sekolah bertaraf internasional di Jakarta.

“Sewajarnya. Tak perlu muluk, disain elegan, tampilkan wall of fame atau ketercapaian yang pernah dihasilkan. Bukan menonjolkan diskon dan pamer wajah pemimpin sekolah, apalagi janji dan fasilitas. Ada sekolah yang menonjolkan program kurikulum Cambridge, padahal saat itu baru taraf merintis. Wah, setelah murid didapat, program tak kunjung diaplikasikan. Konon biaya lisensi kurikulum belum beres. Wah …., jadinya berantakan. Orang tua merasa tertipu. Sekolah lelah dengan berbagai alibi,” cerita seorang mantan praktisi sekolah di daerah Tangerang.

Orang tua calon peserta didik memilih sekolah tidak dengan cara impulse buying. Menentukan dengan cepat dan segera saat itu juga. Kebanyakan masih dengan cara lama yang lebih dipercaya, yakni komunikasi langsung. Saat open house, umumnya diperlihatkan semua faktor penunjang sekolah. “Pakai saja event atau kegiatan lain yang menyentuh langsung calon orang tua dan siswa. Dengan begitu, jumlah siswa yang diharapkan akan lebih lestari atau lebih ‘berumur lama’, dibanding perolehan murid yang dilakukan dengan sentuhan komersial”.

Nah praktisi sekolah, pelajari kembali rencana publikasi dan publisitas sekolah. Lakukan dengan lebih patut. Strategi mendapatkan siswa baru akan lebih elegan jika dilakukan dengan tatap muka dan pendalaman kekuatan sekolah yang sesungguhnya. Demikian tarik menarik nantinya akan terjadi dengan lebih alami. Akan terseleksi, orang tua dan siswa yang sama vision nya.

Masalah di belakangnya masih panjang, karena itu penjaringan siswa lebih baik tak mengandalkan tawaran diskon atau wajah pemimpin. Tetaplah mengutamakan proses belajar. Ingat : Sekolah yang unggul itu bukan the best input, but the best process.TG

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569.

Selasa, 15 Mei 2012

Guru Olah Raga Bergaya

Guru Olah Raga Bergaya


Saat pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan atau lebih kerennya pelajaran olahraga, banyak dijumpai siswa yang tidak berminat, ogah-ogahan bergerak, malah bermalas-malasan dan hanya duduk-duduk di lapangan.

Sebagai Guru penjaskes, saya sering melontarkan joke menyindir: “Kalau di dalam kelas kepengennya jalan-jalan, tapi saat olahraga kepinginnya duduk-duduk!”.

Saya berusaha keras mengubah siswa seperti itu, tak hanya sekadar melaksanakan jadwal olah raga satu minggu sekali selama dua jam pelajaran. Yaitu, bagaimana dengan olahraga yang benar akan menjadikan siswa sehat jasmani dan rohani. Bisa kita bayangkan, setiap hari siswa sudah dijejali mata pelajaran, tugas kelompok, pekerjaan rumah, yang kadang membuat mereka stress, enggan masuk sekolah karena takut dengan pelajaran tertentu.

Ini yang Saya Lakukan:
Saya memberikan pemahaman pada siswa, bahwa pelajaran penjaskes tidak hanya untuk mendapatkan nilai dengan kriteria ketuntasan mengajar (KKM). Melainkan juga agar badan kita menjadi bugar sekaligus menghilangkan kejenuhan serta mengurangi kepenatan di dalam pelajaran.

1) Pada saat melakukan pemanasan, seringkali guru penjaskes terjebak pada rutinitas yang membosankan. Cara mengatasi, misal salah satu siswa diminta maju ke depan dan memimpin teman-temannya melakukan pemanasan. Sebaiknya pemanasan diiringi musik.
2) Ada aturan yang harus kita buat bersama antara guru dan murid sebelum atau di awal pelajaran.
3) Penampilan guru yang ‘oke’. Tidak harus berbusana mewah atau mahal, cukup tampil rapi dan enak dipandang, sehingga siswa terkesan akan sang guru olahraga yang pantass jadi panutan.
4) Tidak sekedar ’memerintah’. Karena merasa tua atau lama menjadi Guru penjaskes, banyak Guru yang sekadar memberi perintah. Usahakan Guru memberi contoh-contoh gerakan. Pasti siswa akan antusias dan bangga, Guru olahraganya tak sekadar memberi instruksi namun trampil melakukan gerakan-gerakan.
5) Sebelum pelajaran usai, beri motivasi hidup sehat.
6) Jangan pelit memuji gerakan siswa, meski tak sempurna. Ingat, yang kita hadapi bukan atlet, tetapi seorang siswa.
7) Sikap disiplin tapi tidak galak. Seringkali Guru olahraga ditakuti siswa –sudah galak, ringan tangan pula.

Marilah kita hilangkan kesan galak tetapi tetap disiplin. Dalam pembelajaran penjaskes, tanpa kedisiplinan, akan berakibat cidera. Tumbuh sebersit harapan saya sebagai Guru olahraga, semoga anak bangsa ini lebih sehat dan cerdas.

Amien Ariytna
Guru Olah Raga, tinggal di Semarang, Jawa-Tengah

Gunung Salak Menyimpan Seribu Cerita Mistik

BOGOR, TRIBUN-TIMUR.COM--

Seorang warga sekitar lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 (SS100), Gunung Salak, sebut saja bernama Tatang (62), mengaku tak terlalu kaget Gunung Salak kembali menelan korban jiwa yang diperkirakan lebih dari 40 orang.

Tatang yang merupakan warga asli Cipelang, Cijeruk, Kabupaten Bogor, ini mengungkapkan Gunung Salak menyimpan seribu cerita mistik yang dipercaya kebenaran oleh sebagian masyarakat setempat.

Satu di antaranya, adanya sebuah makam keramat yang terletak di Puncak Mani, Gunung Salak.

"Di situ, ada makam keramat yang suka dikunjungi orang-orang, ada dari Palembang, dari Medan. Namanya Puncak Mani," ujar Tatang saat ditemui di sekitar Pos Utama Evakuasi Kecelakaan SS 100, Balai Embrio Ternak Kementerian Pertanian Cipelang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/5/2012).

Menurut Tatang yang mempunyai hobi berburu burung dan babi di Gunung Salak ini, butuh waktu sekitar enam jam dari Balai Embrio Ternak ke makam tersebut. Dan tidak ada jalan umum yang bisa digunakan untuk menuju ke lokasi makam tersebut.

"Jalannya tidak bagus, kita harus jalan merayap di tebing kalau mau ke makam itu. Sangat sulit, karena tidak ada yang buka jalan ke sana," ungkapnya.

Ia mengatakan, tidak hanya warga lokal, warga dari luar Bogor pun sering menjadikan makam tua tersebut sebagai tempat persemedian dengan tujuan masing-masing. "Namanya kalau kita ke puncak mani, jalannya tidak seperti tebing begini, tapi sudah bebatuan, pohon dan akar besar," imbuhnya.

Tatang mengaku sedikit kecewa karena tim SAR gabungan gelombang pertama yang berjumlah sekitar 72 orang tak melibatkan warga lokal dalam pencarian korban. Padahal, warga lokal yang paling mengetahui beratnya medan dan sejarah di Gunung Salak.

Menurutnya, sebelumnya Gunung Salak juga telah menelan korban jiwa, di mana sembilan mahasiswa yang mendaki tewas dan pesawat jenis Cassa jatuh di lokasi yang tak jauh dari tempat jatuhnya SS100.

"Memang ketingginya (lokasi SS100 jatuh) cuma 2.100 meter, tapi karena saya orang asli di sini, jadi sudah tahu. Dulu saja yang sembilan mahasiswa, ketinggian tebing cuma 200 meter, kami hanya bisa duduk saja di bawah. Yang kecelakaan pesawat Cassa di situ. Dan di situ ada Batu Tatap dan jurang di situ. Itu SAR angkat tangan, tapi begitu masyarakat di sini cuma bertiga terjun, bisa mudah mengangkat mayat," ujarnya.

Ia mengungkapkan, satu hal tabu yang pantang dilakukan warga saat mendaki Gunung Salak adalah menyebut bertanya posisi Salak. Hal itu dianggap sebagai penghinaan. "Dari dulu memang mistiknya begitu. Makanya, nanti saya mau menitip ke kepala Basarnas yang mau (naik) ke Gunung Salak, 'Jangan tanya mana Salaknya'. Jangan coba-coba tanya begitu. Kedua, kalau kita kencing harus numpang-numpang. Memang keanehannya Gunung Salak seperti itu," ungkapnya.

Tatang menyangsikan tim SAR gabungan yang berangkat pada pukul 13.00 WIB, mampu kembali ke Pos Utama jika menemukan lokasi jatuhnya pesawat SS100.

"Saya perkirakan mereka bisa kembali pukul 18.00 WIB. Tapi, kami enggak jamin, mereka kembali lagi ke sini. Jangankan malam, siang saja kabut sudah turun di sini. Saya saja dulu, sampai pernah tidur dengan orang tua yang ada di dekat lokasi itu," tukasnya.